Pendaftaran kewarganegaraan langsung ke Kantor Wilayah. Tim Riset KPC MELATI langsung terjun lapangan yaitu ke Kantor Wilayah Dephukham DKI Jakarta sebagai pintu gerbang pertama yang menangani proses permohonan pendaftaran anak menjadi WNI.
Tim Riset secara proaktif dan berkala melakukan pengawalan terhadap aplikasi tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia yang diatur oleh Permen yang sekarang berjalan bagi pelaku perkawinan campuran terutama oleh ibu-ibu WNI yang ingin segera mendaftarkan anaknya menjadi WNI.
Masalah-Masalah masih ada saja kendala dalam praktek lapangan
Teori dan praktek beda di lapangan
Index Permasalahan dari Permen ini terbagi dalam kategori:
1. Dokumen Keluarga Perkawinan Campuran
Dilemma: Kurangnya pengetahuan hukum ibu WNI alias buta hukum. Ini juga karena kurangnya sosialisasi dari bagian penerangan pemerintah kepada masyarakat dan kadang kesimpang-siuran informasi yang diberikan oleh pejabat. Akibatnya membingungkan dan meresahkan masyarakat yang membutuhkan kejelasan dan kepastian hukum yang berlaku.
2. Dokumen Anak WNA
Inti permasalahan yang dilakukan oleh ibu-ibu WNI terhadap anaknya yang mestinya berstatuskan WNA pada versi UU Kewarganegaraan No. 62 th. 1958 yang masih diskriminasi gender terhadap Akte Lahir Anak Ius Sanguinis Patriarki. Dampak psikologisnya, bahwa ibu WNI tidak dapat memberikan jaminan perlindungan status hukum dari pemerintah kepada anaknya karena mereka adalah WNA. Dampak ekonomi rumah tangganya, bahwa belum tentu kemampuan finansial ibu WNI ini mapan untuk membiayai pengurusan dokumen asing dan soal perizinan tinggal bagi penduduk asing.
Dampak UU Kewarganegaraan versi lama yang terkait dengan UU Perkawinan dan UU Keimigrasian membuat sebagian ibu-ibu WNI melakukan penyimpangan hukum dengan mendaftarkan anaknya sebagai “Anak Diluar Nikah” dalam Akte Lahir sehingga anaknya otomatis menjadi WNI, tetapi terpisahkan statusnya dari ayah WNA. Padahal kedua orang tua ini menikah secara resmi di Catatan Sipil/KUA/Menikah di Luar Negeri.
Ibu WNI belum tentu pernah mengurus-memiliki paspor asing untuk Anak yang dilahirkan oleh pasangan perkawinan campuran, karena mungkin tidak pernah mengurus ke Kedutaan atau adanya peraturan Negara tersebut yang mensyaratkan kedua orang tuanya harus hadir bersama dengan membawa anaknya yang baru lahir untuk pembuatan paspor. Kendala hukumnya adalah ibu WNI tidak berhak secara sepihak melakukan pembuatan paspor untuk bayinya. Atau ketentuan perpanjangan paspor yang memerlukan tanda tangan ayah WNA.
Keretakan atau ketidakharmonisan rumah tangga suami istri. Pada kenyataannya, seringkali suami WNA membawa pergi dokumen anak-anak (Akte Lahir, Paspor Asing) terutama bila dokumen tersebut dikeluarkan oleh Perwakilan Negara Asing. Untuk meminta dokumen yang baru belum tentu bisa dilakukan secara sepihak oleh ibu WNI saja, sementara anak tersebut masih tinggal bersama ibu WNI di Indonesia.
Tidak banyak ibu WNI yang memilih untuk mengurus KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) sendiri untuk anaknya yang WNA, sebagian karena ketidakpahaman dan sebagian karena ketidaktransparanan akan peraturan imigrasi yang menyebabkan perbedaan interpretasi di lapangan dan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam kasus dimana satu keluarga perkawinan campuran mempunyai lebih dari 3 anak ditambah dengan kontrak kerja suami WNA yang sudah berakhir, suami yang mendadak tidak mampu bekerja karena alas an kesehatan atau pekerjaan suami WNA belum tentu memberikan tunjangan izin tinggal untuk anak-anak WNAnya, keadaan ini menjadi beban tambahan ekonomi rumah tangga perkawinan campuran, belum lagi kalau ternyata suami WNA tiba-tiba menghilang entah kemana? Sementara anak harus tetap menjadi tanggungan ibu WNI.
Dalam kasus dimana KITAS anak sudah hampir habis masa berlakunya, tetapi SK Menteri Hukum dan HAM untuk Kewarganegaraan Anak WNI belum terbit. Anak harus menunggu di Indonesia sampai semua dokumen keimigrasiannya siap dan lengkap. Sedangkan ada kemungkinan ketentuan mendadak harus meninggalkan Indonesia karena urusan keluarga yang sangat mendesak dan mengharuskan kehadiran si anak di Negara asing.
3. Dokumen Suami WNA (Paspor Asing)
Kebanyakan para istri WNI mengalami kendala untuk membawa buku paspor asing suami WNA, sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh Permen untuk Pendaftaran Anak WNI, karena factor-faktor:
Dalam perkawinan yang bermasalah, khususnya pada perkawinan beda bangsa yang jelas beda budaya, bahasa, agama, dan hukum, persyaratan ini menimbulkan permasalahan tambahan yang pelik sehingga menjadi kendala dalam memenuhi persyaratan ini. Tentunya pada awal perkawinan setiap orang mengharapkan rumah tangganya berjalan mulus, tapi belum tentu impian menjadi kenyataan hidup. Misalnya: Terjadi KDRT tapi masih mempertahankan perkawinannya demi status perlindungan anak yang masih dinyatakan sebagai WNA/penduduk asing di Indonesia.
Hubungan suami istri yang long distance, beda domisili dikarenakan tugas suami WNA dipindahkan ke Negara yang berbeda-beda sehingga paspor asing suami harus tetap melekat selama bepergian.
Belum tentu mendapat “Green Light” dari suami WNA untuk mendaftarkan anak menjadi WNI, walaupun dengan kondisi perkawinan yang masih baik-baik saja. Peran suami WNA selain sebagai Kepala Keluarga juga berpeluang untuk mendominasi terhadap payung hukum yang berlaku. Ini berarti perempuan WNI tidak mempunyai kapasitas sepenuhnya untuk melakukan keputusan hukum bagi kepentingan dan kebaikan anaknya.
4. Persyaratan Surat Pernyataan Anak Belum Menikah
Permen meminta surat ini dibuat dan ditandatangani di atas meterai. Apakah hal ini lazim diberlakukan kepada anak yang masih dibawah umur, misalnya anak masih umur 3 tahun harus menyatakan belum menikah? Dalam UU Perkawinan yang membolehkan anak menikah umur 17 tahun. Oleh karenanya usulan KPC MELATI sebaiknya diberlakukan hanya bagi anak yang umur jatuh tempo 17 tahun pada saat mendaftarkan menjadi WNI.
5. Legalisasi KTP dan KK di Indonesia
Bahwa peraturan dalam Kartu Keluarga hanya bisa mencantumkan individu yang berstatuskan WNI atau orang asing yang telah mempunyai KTP bagi Penduduk Asing. Akibatnya alamat KTP dan KK belum tentu sama dengan alamat tinggal keluarga perkawinan campuran ini. Ditambah lagi bahwa UU Pokok Agraria menyatakan bahwa WNA tidak dapat memiliki properti dengan Status Hak Milik (SHM).
Intinya, ketidakpraktisan dan dapat memakan waktu lama bila istri WNI harus mondar-mandir ke Kantor Kelurahan di tempat yang belum tentu dekat dengan rumah tinggalnya, atau dalam kota yang sama, atau dalam wilayah propinsi yang sama.
6. Legalisasi Dokumen Yang Diterbitkan oleh Negara Lain / Kantor Perwakilan Asing
Dalam hal ini Akte Nikah dan Akte Lahir Anak.
Tidak semua Kantor Perwakilan Negara Asing di Indonesia mengenal sistem legalisasi dokumen sesuai dengan aslinya. Seperti cara yang lazim dilakukan di Kantor Pemerintah Indonesia adalah pencocokan dokumen asli dengan hasil fotokopinya dan diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang dari Kantor yang mengeluarkan surat tersebut untuk menerakan cap dan tanda tangan sesuai dengan aslinya.
Contohnya negara-negara:
• Hong Kong: tidak ada legalisasi bagi dokumen asli.
• Amerika: Tidak ada model True Copy, yang ada penerbitan salinan asli. Untuk memperoleh salinan asli tersebut harus pergi sendiri ke Kantor “Birth and Death Statistic Office” dimana setiap Negara bagian di Amerika mempunyai ketentuan yang berbeda-beda. Untuk memperoleh salinan asli ini tidak bisa diwakilkan oleh Kantor Perwakilan Amerika di Indonesia. Misalnya, anak pertama lahir di Negara Bagian New York, harus ke New York. Anak kedua lahir di Negara bagian California, harus ke California.
• Belgia: Tidak bisa melegalisasi surat di Kantor Perwakilan Belgia di Negara lain. Legalisasi surat harus dilakukan di Negara Belgia dimana dokumen tersebut dikeluarkan.
Anak-anak dalam satu keluarga perkawinan campuran bisa saja dilahirkan di Negara yang berbeda-beda dikarenakan pekerjaan orangtuanya yang mengharuskan perpindahan domisili. Negara-negara tempat anak-anak tersebut dilahirkan mungkin memberlakukan azas ius soli atau ius sanguinis, sehingga menimbulkan kerumitan dalam pengurusan legalisasi dokumen yang diperlukan.
Intinya, tidak semua urusan legalisasi dokumen bisa ditangani oleh Kantor Perwakilan Asing di Indonesia. Karena harus dikembalikan kepada Negara masing-masing yang berwenang melakukan legalisasi dokumen sebagai True Copy/Salinan Asli/Kutipan. Kemudian tidak semua pasangan perkawinan campuran berdomisili di negara dimana mereka pernah menikah atau di tempat setiap kelahiran anak-anaknya.
Konsekuensi yang harus diterima bila menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.